Politik dan Pembangunan Ekonomi: Pelajaran dari W. Arthur Lewis untuk Indonesia Saat Ini
Ketika membahas pembangunan ekonomi di negara berkembang, kita seringkali terjebak dalam angka-angka pertumbuhan dan investasi, sembari mengabaikan satu elemen penting: politik. W. Arthur Lewis, ekonom peraih Nobel yang dikenal lewat teori dual-sektornya, menyoroti sisi lain pembangunan melalui karya klasiknya Politics in West Africa (1965). Buku ini bukan sekadar studi regional, tetapi sebuah refleksi tajam tentang bagaimana elite politik, patronase, dan struktur pemerintahan membentuk arah pembangunan. Dalam konteks Indonesia negara demokrasi dengan sejarah panjang sentralisasi dan desentralisasi ekonomi, gagasan Lewis membuka ruang penting untuk menilai kembali sejauh mana politik kita mendukung atau justru menghambat pertumbuhan yang adil dan merata.
Dalam Politics in West Africa, W. Arthur Lewis menekankan bahwa pembangunan ekonomi di negara-negara baru merdeka tidak bisa dilepaskan dari dinamika kekuasaan politik. Menurut Lewis, salah satu karakteristik negara pascakolonial di Afrika Barat adalah kuatnya kecenderungan patronase dalam birokrasi, di mana elite politik menggunakan posisi dan sumber daya negara untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.
Lewis mengidentifikasi bahwa kelemahan institusi politik, minimnya akuntabilitas, serta tidak stabilnya sistem hukum menjadi hambatan utama dalam mengelola pertumbuhan ekonomi. Ia juga menyoroti bagaimana penguasaan sumber daya oleh kelompok elite sempit menciptakan ketimpangan distribusi, yang pada akhirnya memicu ketidakpuasan sosial dan menghambat integrasi nasional.
Bagi Lewis, pembangunan bukan sekadar masalah ekonomi teknokratis, tapi sangat dipengaruhi oleh siapa yang memegang kekuasaan, bagaimana kebijakan diputuskan, dan seberapa besar sistem pemerintahan mampu memfasilitasi partisipasi masyarakat luas. Politik yang tertutup, menurutnya, menghasilkan pembangunan yang timpang dan tidak berkelanjutan.
Meski berasal dari konteks geografis yang berbeda, Indonesia dan negara-negara di Afrika Barat yang dikaji Lewis memiliki banyak kesamaan struktural terutama sebagai negara-negara pascakolonial yang berjuang membangun ekonomi nasional sambil mengelola warisan kolonialisme dan pluralitas etnis. Seperti di Afrika Barat, Indonesia mengalami pembangunan yang tersentralisasi di bawah elite politik, terutama selama masa Orde Baru, di mana pertumbuhan ekonomi berjalan seiring dengan kuatnya kontrol politik dari pusat.
Fenomena patronase dan politik balas budi juga menjadi ciri khas politik Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam konteks otonomi daerah, desentralisasi yang dimaksudkan untuk mempercepat pembangunan sering kali justru memperluas arena patronase lokal. Ini menciptakan ketimpangan baru dan korupsi yang tersebar.
Lewis juga mencatat bagaimana elite politik cenderung memperlakukan negara sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan sebagai institusi pelayanan publik. Situasi ini terlihat jelas dalam kasus Indonesia, misalnya ketika proyek-proyek pembangunan bersifat simbolik dan tidak menyentuh akar persoalan ketimpangan sosial, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) yang memicu debat soal prioritas anggaran dan ketimpangan antarwilayah.
Dengan melihat paralel ini, kita dapat memahami bahwa banyak tantangan pembangunan Indonesia bukan hanya soal kebijakan ekonomi, tetapi soal struktur kekuasaan dan distribusi sumber daya politik. Inilah inti dari pesan Lewis bahwa tanpa reformasi politik dan institusi yang adil, pembangunan ekonomi cenderung hanya menguntungkan segelintir pihak.
Pemikiran W. Arthur Lewis dalam Politics in West Africa tetap relevan meskipun konteks zamannya telah berubah. Kritik utama terhadap pendekatan Lewis adalah kecenderungannya menekankan elite politik sebagai aktor dominan dalam proses pembangunan, sementara peran masyarakat sipil, media, dan institusi non-negara kurang mendapat sorotan. Namun, dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, pengaruh elite politik terhadap arah pembangunan masih sangat besar sehingga gagasan Lewis tetap menjadi alat analisis yang kuat.
Relevansi teori Lewis terlihat jelas dalam berbagai dinamika kontemporer Indonesia. Misalnya, konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan, seperti dalam proyek pertambangan atau pembangunan infrastruktur besar-besaran, menunjukkan bagaimana keputusan pembangunan lebih sering dikendalikan oleh kekuatan politik daripada oleh pertimbangan keberlanjutan jangka panjang.
Selain itu, ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa, atau antara kota dan desa, mencerminkan kegagalan distribusi hasil pembangunan secara merata, sebagaimana dikhawatirkan Lewis dalam konteks Afrika. Elite yang mendominasi kebijakan seringkali tidak merepresentasikan kebutuhan komunitas lokal, dan ini memperkuat marginalisasi daerah-daerah yang tidak memiliki kekuatan politik.
Namun demikian, Indonesia juga memiliki ruang untuk memperbaiki situasi. Reformasi birokrasi, penguatan institusi antikorupsi, dan keterlibatan masyarakat sipil dalam pengawasan anggaran publik dapat memperkuat demokrasi ekonomi seperti yang diimpikan Lewis. Indonesia perlu membangun institusi politik yang sehat, transparan, dan akuntabel agar pembangunan tidak hanya mengandalkan pertumbuhan angka, tetapi juga kesejahteraan nyata bagi semua warga.
Salah satu warisan intelektual penting dari Politics in West Africa adalah ajakan W. Arthur Lewis untuk memandang pembangunan ekonomi sebagai proyek politik yang membutuhkan partisipasi luas, bukan hanya perencanaan teknokratik. Dalam konteks Indonesia, ini berarti memperluas akses terhadap proses pengambilan keputusan tidak hanya oleh elite pemerintahan dan korporasi, tapi juga oleh komunitas lokal, masyarakat adat, buruh, petani, dan kelompok rentan lainnya.
Untuk menciptakan pembangunan yang adil dan berkelanjutan, Indonesia perlu menghindari jebakan pertumbuhan yang eksklusif. Seperti yang digarisbawahi Lewis, pertumbuhan tanpa distribusi hanya akan melanggengkan ketimpangan dan memperdalam jurang sosial-ekonomi. Langkah konkret menuju inklusivitas antara lain dengan memperkuat institusi demokratis, memperluas literasi politik-ekonomi warga, serta menjamin transparansi dalam pengelolaan sumber daya alam.
Penutup
W. Arthur Lewis bukan hanya seorang ekonom, tapi juga seorang pemikir politik pembangunan yang tajam. Melalui Politics in West Africa, ia menunjukkan bahwa kekuatan politik menentukan arah pembangunan ekonomi suatu bangsa. Indonesia, sebagai negara yang kaya sumber daya dan beragam secara sosial, punya peluang besar untuk tumbuh secara adil namun hanya jika mampu membenahi struktur kekuasaan yang timpang dan menjadikan pembangunan sebagai proyek kolektif, bukan monopoli elite.
Dengan membaca ulang Lewis, kita diingatkan bahwa pembangunan sejati bukan soal angka di laporan, tapi tentang siapa yang mendapat manfaat darinya dan siapa yang justru tertinggal.
Comments
Post a Comment