Membedah Teori W. Arthur Lewis: Pelajaran dari Pertumbuhan Ekonomi 1870–1913 untuk Indonesia Hari Ini
W Arthur Lewis adalah seorang ekonom asal St Lucia. Dia merupakan salah satu peraih Nobel Ekonomi. Ada buku yang pertama dia tulis berjudul " Growth and Fluctations 1870 - 1913". Buku itu menganalisa tentang dinamika ekonomi global antara tahun 1870 hingga 1913, termasuk fluktuasi harga, output industri dan pertanian, serta peran standar emas dalam sistem moneter internasional. Pada periode tersebut Indonesia belum merdeka dan masih di jajah oleh Kolonial Belanda. Dinamika ekonomi global yang waktu itu pertumbuhan negara negara industri signifikan dan fluktuasi harga komoditas dan output industri mempengaruhi ekonomi kolonial Hindia Belanda. Zaman kolonial, ekonomi Indonesia dibentuk untuk mengekspor bahan mentah seperti karet, kelapa sawit, kopi, dan minyak bumi ke pasar internasional. Dikarenakan ketergantungan ini membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global. Kalau harga jatuh, pendapatan negara ikut turun. Selain itu, ekspor komoditas mentah tidak menciptakan banyak nilai tambah atau lapangan kerja berkualitas, dibandingkan dengan industri manufaktur atau teknologi.Namun yang lebih penting, Lewis menawarkan kerangka berpikir yang masih relevan hingga kini: bahwa pertumbuhan sejati terjadi ketika terjadi transformasi struktural dari sektor tradisional menuju sektor modern. Artikel ini mencoba membedah pemikiran Lewis dan mengaitkannya dengan realitas Indonesia masa kini, sebuah negara yang masih berkutat dengan dominasi sektor informal, ketimpangan wilayah, dan cita-cita menjadi negara industri.
W. Arthur Lewis dikenal luas lewat model “dual-sector economy”-nya, yang menjelaskan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang lewat transisi tenaga kerja dari sektor tradisional (pertanian subsisten, informal, produktivitas rendah) ke sektor modern (industri, produktivitas tinggi, upah lebih baik). Dalam bukunya Growth and Fluctuations 1870–1913, ia menganalisis periode keemasan pertumbuhan ekonomi Barat sebuah babak penting dalam sejarah ekonomi global yang penuh kontradiksi: kemajuan pesat, tapi juga ketimpangan tajam.
Lewis berpendapat bahwa pertumbuhan yang berkelanjutan membutuhkan transformasi struktural, bukan hanya pertambahan angka produksi. Dengan kata lain, ekonomi suatu negara tak akan berkembang pesat bila mayoritas tenaga kerjanya tetap berada di sektor yang tidak mengalami peningkatan produktivitas.
Dalam analisisnya, Lewis menyoroti empat pilar utama yang mendorong pertumbuhan pada era 1870–1913:
-
Akumulasi Modal dan Investasi
Negara-negara Barat mengalami lonjakan akumulasi modal, sebagian besar dari hasil koloni dan perdagangan luar negeri. Investasi yang massif, khususnya di sektor industri dan infrastruktur, menciptakan lapangan kerja produktif dan memperluas pasar. -
Perdagangan Internasional dan Globalisasi Awal
Periode ini juga ditandai dengan keterbukaan perdagangan antarnegara. Negara-negara industri mengekspor barang manufaktur, dan mengimpor bahan mentah dari negara jajahan membentuk struktur ekonomi dunia yang tidak setara, tapi saling bergantung. -
Teknologi dan Inovasi
Kemajuan teknologi di bidang transportasi (kereta api, kapal uap) dan produksi (mesin industri) mempercepat pertumbuhan produktivitas. Lewis menekankan bahwa inovasi memberi keunggulan komparatif yang sulit ditandingi oleh negara-negara yang belum mengalami industrialisasi. -
Perpindahan Tenaga Kerja ke Sektor Modern
Dalam model Lewis, pertumbuhan tinggi terjadi ketika tenaga kerja dari sektor tradisional yang “kelebihan tenaga kerja” (surplus labour) pindah ke sektor industri yang lebih efisien. Tapi titik kritisnya Lewis Turning Point terjadi ketika tidak ada lagi tenaga kerja murah yang bisa dipindahkan, dan upah mulai naik.
Intinya, menurut Lewis, pertumbuhan bukan sekadar menambah PDB, tapi menciptakan pergeseran besar-besaran dalam struktur ekonomi dari stagnasi menuju dinamika.
Jika kita melihat Indonesia hari ini melalui lensa W. Arthur Lewis, maka kita sedang hidup di antara dua dunia: satu kaki masih berada dalam sektor tradisional, sementara kaki lainnya berusaha melangkah ke sektor modern. Indonesia adalah contoh nyata dari “dual economy” yang dijelaskan Lewis di mana sektor informal yang kurang produktif masih mendominasi, sementara sektor industri belum sepenuhnya menjadi motor utama pertumbuhan.
Data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 55% tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor informal termasuk buruh tani, pedagang kaki lima, dan pekerja tanpa kontrak tetap. Ini menunjukkan bahwa kita masih memiliki surplus tenaga kerja di sektor berproduktivitas rendah, seperti yang dijelaskan Lewis dalam model awalnya.
Alih-alih menyerap surplus tenaga kerja ke industri, banyak pekerja malah terjebak dalam pekerjaan informal karena sektor modern belum cukup besar atau cukup menarik untuk menyerap mereka. Ini mencerminkan fase awal dalam teori Lewis, ketika peralihan dari sektor tradisional belum mencapai titik balik.
Menurut Lewis, turning point tercapai ketika surplus tenaga kerja habis, dan industri harus mulai membayar upah lebih tinggi. Namun, di Indonesia, upah riil cenderung stagnan, dan industri manufaktur belum menunjukkan daya serap besar terhadap tenaga kerja sejak 2015. Hal ini menunjukkan bahwa kita belum sepenuhnya mencapai turning point.
Pertumbuhan sektor modern (fintech, startup, manufaktur) banyak terkonsentrasi di Jawa terutama Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sementara itu, banyak wilayah luar Jawa masih bergantung pada pertanian dan ekonomi ekstraktif. Ketimpangan ini menguatkan argumen Lewis bahwa tanpa transformasi struktural yang inklusif, pertumbuhan bisa timpang dan meninggalkan banyak wilayah tertinggal.
Indonesia pernah mengalami momentum industrialisasi di awal 1990-an, tapi kemudian melambat pasca krisis 1998. Kini, banyak ekonom memperingatkan bahwa Indonesia mengalami “premature deindustrialization” di mana sektor industri menurun sebelum mencapai puncaknya. Ini bertolak belakang dengan narasi Lewis, di mana sektor industri seharusnya menjadi tulang punggung transformasi ekonomi.
Melalui karya W. Arthur Lewis tentang pertumbuhan ekonomi 1870–1913, kita belajar bahwa kemajuan suatu negara tidak hanya tergantung pada besarnya produk domestik bruto (PDB), tapi pada bagaimana struktur ekonominya berubah secara fundamental. Bagi Indonesia, pelajaran ini amat relevan.
Indonesia perlu secara serius mendorong transformasi dari ekonomi berbasis konsumsi dan sektor informal ke arah ekonomi berbasis produktivitas dan inovasi. Tanpa pergeseran tenaga kerja ke sektor-sektor bernilai tambah tinggi seperti manufaktur, teknologi, dan layanan profesional pertumbuhan kita akan tetap “rapuh” dan dangkal.
Salah satu kekuatan negara-negara Barat pada era 1870–1913 adalah peningkatan kualitas tenaga kerja, baik melalui pendidikan maupun pelatihan keterampilan. Dalam konteks Indonesia hari ini, pemerataan akses pendidikan berkualitas dan vokasi modern sangat penting untuk mempercepat perpindahan tenaga kerja ke sektor modern.
Alih-alih membiarkan ekonomi dikuasai sektor jasa informal, Indonesia perlu meniru pendekatan aktif negara-negara industri masa lalu: kebijakan fiskal dan moneter yang berpihak pada sektor manufaktur dan teknologi, bukan hanya eksploitasi sumber daya alam.
Periode pertumbuhan 1870–1913 juga ditandai oleh konektivitas rel kereta api, pelabuhan, dan sistem komunikasi. Di Indonesia, konektivitas antarwilayah belum merata. Investasi pada infrastruktur yang menghubungkan wilayah tertinggal ke pusat ekonomi adalah langkah strategis untuk mempercepat transformasi struktural di seluruh negeri.
Indonesia saat ini masih sangat bergantung pada ekspor komoditas mentah dan konsumsi rumah tangga. Padahal, negara-negara maju di masa Lewis tumbuh dengan mendorong ekspor barang bernilai tambah dan memperluas basis industri. Indonesia harus mulai serius membangun kapasitas produksi dan teknologi dalam negeri.
Pemikiran W. Arthur Lewis memberi kita lensa yang tajam untuk memahami tantangan dan potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Model dual-sector economy bukan sekadar teori kuno, tetapi cermin dari realitas kita hari ini: ketika sebagian besar rakyat masih hidup dalam sektor berproduktivitas rendah, dan transformasi struktural belum terjadi secara merata.
Sejarah pertumbuhan ekonomi 1870–1913 yang dikaji Lewis menunjukkan bahwa kemajuan tidak datang secara otomatis. Ia lahir dari kebijakan yang berpihak pada pembangunan jangka panjang: investasi pada industri, pendidikan, dan infrastruktur; serta keberanian untuk keluar dari jebakan struktur lama.
Bagi Indonesia, tantangannya jelas: berani melangkah keluar dari kenyamanan ekonomi informal dan konsumtif, menuju pembangunan ekonomi yang berbasis produktivitas, inovasi, dan inklusivitas wilayah. Jika tidak, kita berisiko mengulang nasib negara-negara yang terjebak dalam pertumbuhan tanpa perkembangan besar di angka, kecil di perubahan.
Kini saatnya Indonesia tidak hanya mengejar pertumbuhan, tapi mendesain ulang struktur ekonominya dengan visi jangka panjang. Karena seperti yang dikatakan Lewis:
“The fundamental problem of economic development is how to transform a traditional economy into a modern one.”
Comments
Post a Comment