Perencanaan Ekonomi menurut W. Arthur Lewis: Relevansi Prinsip-Prinsip Klasik bagi Indonesia Modern

Dalam dunia yang semakin kompleks dan penuh ketidakpastian, wacana perencanaan ekonomi kembali mengemuka. Pandemi global, krisis iklim, ketimpangan yang melebar, dan ketergantungan pada pasar global membuat banyak negara termasuk Indonesia mulai mempertanyakan efektivitas sistem pasar bebas yang sepenuhnya liberal. Dalam konteks inilah, pemikiran klasik W. Arthur Lewis dalam The Principles of Economic Planning (1949) menjadi relevan kembali. Lewis, seorang peraih Nobel dan ekonom dari Saint Lucia, menawarkan kerangka sistematis tentang bagaimana negara dapat memainkan peran aktif dalam merancang pembangunan ekonomi yang lebih adil dan terarah. Tulisan ini mengulas prinsip-prinsip utama yang ia gagas, serta mengaitkannya dengan kebutuhan Indonesia masa kini yang mendesak untuk merumuskan strategi pembangunan yang tidak hanya cepat, tetapi juga inklusif dan berkelanjutan.

W. Arthur Lewis mendefinisikan economic planning sebagai intervensi aktif negara dalam perekonomian untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Dalam The Principles of Economic Planning (1949), Lewis menyatakan bahwa perencanaan bukan semata-mata "menyusun target", tetapi menyusun langkah konkret untuk mengarahkan sumber daya manusia, modal, dan alam menuju sasaran-sasaran sosial dan ekonomi jangka panjang. Ini mencakup pembangunan industri strategis, pengurangan pengangguran, pemerataan distribusi pendapatan, dan peningkatan kesejahteraan nasional.

Lewis percaya bahwa pasar sering kali gagal mengalokasikan sumber daya secara efisien dan adil, terutama di negara-negara berkembang yang memiliki keterbatasan dalam modal dan infrastruktur. Oleh karena itu, negara harus turun tangan melalui kebijakan fiskal, insentif investasi, dan pengaturan harga untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan inklusif. Perencanaan yang dimaksud Lewis bukanlah sistem ekonomi komando seperti di Uni Soviet, melainkan sistem yang memungkinkan negara dan sektor swasta bekerja berdampingan dengan tujuan yang terukur dan terkoordinasi.

Di tengah kritik terhadap peran negara dalam ekonomi saat ini, pemikiran Lewis justru menawarkan jalan tengah yang bijak: negara tidak mendominasi, tetapi memimpin. Dalam konteks Indonesia dengan tantangan pembangunan wilayah yang timpang, dominasi pasar oligopoli, dan ketergantungan pada ekspor bahan mentah konsep ini layak untuk ditelaah lebih lanjut. Perencanaan, bagi Lewis, bukanlah pilihan ideologis, tetapi keniscayaan praktis bagi negara yang ingin tumbuh secara berdaulat dan berkeadilan.

Dalam The Principles of Economic Planning (1949), W. Arthur Lewis menekankan bahwa perencanaan ekonomi bukan sekadar soal visi dan niat baik, melainkan juga bergantung pada alat-alat konkret dan kerangka kelembagaan yang mendukung. Ia membedakan dua pendekatan utama: perencanaan indikatif dan perencanaan direktif. Perencanaan indikatif bertujuan memberikan panduan dan koordinasi kepada sektor swasta tanpa paksaan langsung, sementara perencanaan direktif mencakup instrumen-instrumen yang lebih kuat, seperti penjatahan sumber daya, pengendalian harga, atau investasi publik besar-besaran.

Salah satu alat utama dalam pendekatan Lewis adalah anggaran pembangunan nasional. Alih-alih hanya menjadi laporan fiskal tahunan, anggaran digunakan sebagai instrumen strategis untuk mengarahkan investasi ke sektor prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan industri dasar. Ia juga menekankan pentingnya perusahaan milik negara sebagai penggerak awal ketika sektor swasta belum mampu atau belum bersedia mengambil risiko dalam proyek-proyek berskala besar dan berdampak jangka panjang.

Selain itu, Lewis menyoroti pentingnya statistik dan data ekonomi yang akurat sebagai fondasi dari setiap rencana. Tanpa data yang kredibel, perencanaan berubah menjadi sekadar harapan kosong. Karena itu, negara harus memiliki kapasitas kelembagaan yang kuat, terutama dalam badan perencana seperti National Planning Office atau lembaga sejenis.

Dalam konteks Indonesia, banyak dari instrumen ini telah ada seperti Bappenas dan APBN namun belum sepenuhnya digunakan sebagai alat strategis jangka panjang. Perencanaan masih terlalu terfragmentasi, sektoral, dan sering kali dipengaruhi dinamika politik jangka pendek. Lewis mengajarkan bahwa tanpa kerangka yang koheren dan lembaga yang profesional, perencanaan hanya akan menjadi dokumen formalitas belaka.

Gagasan-gagasan W. Arthur Lewis tentang perencanaan ekonomi tetap relevan untuk Indonesia saat ini, terutama dalam konteks pembangunan nasional yang masih menghadapi kesenjangan struktural, ketergantungan pada ekspor bahan mentah, dan lemahnya industrialisasi. Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan demografi yang besar, namun seperti yang ditekankan Lewis, potensi saja tidak cukup tanpa arah yang jelas dan lembaga yang mampu mengeksekusi kebijakan secara konsisten.

Salah satu poin penting dari Lewis adalah perlunya perencanaan yang mampu mengintervensi struktur dualistik ekonomi seperti antara sektor formal dan informal, atau antara Jawa dan luar Jawa. Ini sangat relevan mengingat ketimpangan pembangunan regional di Indonesia masih tinggi. Konsep “surplus tenaga kerja” Lewis juga menyentuh langsung kondisi Indonesia, di mana banyak angkatan kerja terjebak dalam pekerjaan informal dan produktivitas rendah. Tanpa kebijakan aktif untuk menyerap tenaga kerja ke sektor modern seperti manufaktur bernilai tambah tinggi pertumbuhan ekonomi hanya akan bersifat eksklusif.

Namun, tantangannya besar. Budaya birokrasi yang cenderung prosedural, lemahnya koordinasi antarsektor, dan rendahnya kapasitas teknokratik di daerah membuat perencanaan cenderung menjadi kegiatan administratif daripada strategis. Di sisi lain, tekanan jangka pendek dari siklus elektoral sering mengalahkan logika jangka panjang pembangunan. Lewis menekankan pentingnya konsistensi dan keberlanjutan hal yang belum cukup mengakar dalam tata kelola pembangunan Indonesia.

Di tengah upaya pemerintah memperkuat hilirisasi dan memindahkan ibu kota negara (IKN), ide Lewis tentang negara sebagai “pengarah ekonomi” dapat menjadi landasan normatif sekaligus praktis. Indonesia membutuhkan perencanaan yang tidak hanya teknokratik, tapi juga berlandaskan visi kolektif dan mampu menjembatani kepentingan lokal, nasional, dan global. Dengan itu, perencanaan ekonomi tak hanya menjadi warisan masa lalu, melainkan juga kunci menuju masa depan.

W. Arthur Lewis percaya bahwa negara tidak boleh pasif dalam pembangunan ekonomi. Ia bukan sekadar pengatur pasar, tetapi aktor aktif yang merancang dan menavigasi arah pembangunan, terutama di negara-negara berkembang. Di Indonesia, ini berarti negara harus berani mengambil peran lebih besar dalam membangun infrastruktur strategis, mendorong industrialisasi, dan menjamin redistribusi manfaat pertumbuhan.

Dalam konteks ini, lembaga perencana seperti Bappenas perlu diberi otoritas dan kapasitas yang lebih besar tidak hanya menjadi koordinator, tetapi juga aktor perumus kebijakan jangka panjang. Lewis juga mengingatkan bahwa perencanaan bukan sekadar urusan teknis, melainkan juga politis. Harus ada kemauan politik yang kuat untuk melawan kepentingan jangka pendek dan membangun kesepakatan nasional lintas rezim. Di sinilah tantangan Indonesia hari ini: membangun institusi perencanaan yang tahan guncangan politik.

Reformasi fiskal, integrasi data lintas kementerian, serta penguatan otonomi daerah berbasis kapabilitas juga menjadi kunci. Negara harus hadir sebagai fasilitator pembangunan daerah, bukan hanya sebagai distributor anggaran. Di era disrupsi global dan perubahan iklim, pendekatan Lewis tentang negara sebagai arsitek pembangunan yang berwawasan jauh ke depan menjadi semakin penting.

Kesimpulan

W. Arthur Lewis bukan hanya seorang ekonom peraih Nobel, tetapi juga pemikir yang menaruh harapan besar pada negara-negara berkembang. Melalui The Principles of Economic Planning, ia mengajak kita membayangkan pembangunan sebagai proyek kolektif yang memerlukan arah, alat, dan lembaga yang kuat. Indonesia, sebagai negara dengan sumber daya dan populasi besar, memiliki semua potensi untuk mewujudkannya asal mau belajar dari sejarah, disiplin dalam perencanaan, dan konsisten dalam pelaksanaan.

Mewarisi semangat Lewis berarti meletakkan pembangunan bukan pada kebetulan, tetapi pada desain. Perencanaan ekonomi bukan sekadar teknokrasi, tetapi strategi bangsa. Jika Indonesia ingin menjadi negara maju dengan keadilan sosial dan kemakmuran merata, maka perencanaan ala Lewis bukan hanya relevan tapi mendesak untuk dihidupkan kembali.

Comments

Popular posts from this blog

The Role of Schools in Discovering Student Potential: A Comparison of Urban and Rural Attitudes in Indonesia

Urbanization in Indonesia

Membedah Teori W. Arthur Lewis: Pelajaran dari Pertumbuhan Ekonomi 1870–1913 untuk Indonesia Hari Ini