Mengurai Teori Pertumbuhan Ekonomi W. Arthur Lewis: Tantangan dan Peluang bagi Indonesia
W. Arthur Lewis, peraih Nobel bidang ekonomi tahun 1979, adalah salah satu pemikir paling berpengaruh dalam teori pembangunan negara-negara berkembang. Melalui karya klasiknya The Theory of Economic Growth (1955), Lewis menawarkan kerangka analitis untuk memahami bagaimana suatu negara bisa bergerak dari kondisi stagnan menuju pertumbuhan yang berkelanjutan. Meskipun ditulis lebih dari setengah abad yang lalu, teori-teori Lewis tetap relevan terutama bagi negara seperti Indonesia, yang tengah menghadapi tantangan pertumbuhan ekonomi di tengah ketimpangan sosial dan transformasi global. Artikel ini mengupas inti pemikiran Lewis dan menelaah bagaimana gagasannya dapat membantu merancang strategi pembangunan Indonesia yang lebih adil dan tahan banting.
Dalam The Theory of Economic Growth (1955), W. Arthur Lewis mengembangkan pandangan yang menyeluruh mengenai proses pertumbuhan ekonomi jangka panjang, terutama di negara-negara yang sedang berkembang. Baginya, pertumbuhan bukan semata-mata soal angka PDB yang naik, melainkan transformasi struktural yang mengubah cara suatu masyarakat memproduksi, mengalokasikan, dan mendistribusikan sumber daya ekonomi.
Salah satu konsep utama Lewis adalah akumulasi modal sebagai motor pertumbuhan. Menurutnya, ketika surplus dari sektor tradisional (seperti pertanian) dialihkan ke sektor modern (seperti industri dan jasa), maka produktivitas meningkat dan menciptakan surplus lebih lanjut yang bisa diinvestasikan kembali. Di sinilah proses pertumbuhan menjadi kumulatif dan berkelanjutan.
Lewis juga memperkenalkan konsep “tenaga kerja surplus”, yakni kondisi di mana terdapat kelebihan tenaga kerja di sektor tradisional yang dapat dialihkan ke sektor modern tanpa kehilangan output di sektor asal. Ini penting karena negara-negara berkembang biasanya memiliki banyak tenaga kerja yang belum produktif, dan kunci pertumbuhan adalah memobilisasi mereka ke sektor yang lebih bernilai tambah.
Selain itu, Lewis menekankan bahwa pertumbuhan tidak akan terjadi secara otomatis tanpa institusi yang sehat, pendidikan yang memadai, serta distribusi pendapatan yang relatif merata. Ia meyakini bahwa ketimpangan yang tajam akan menghambat proses akumulasi modal dan menciptakan ketidakstabilan sosial.
Bagi Lewis, pertumbuhan ekonomi adalah proses historis, bukan hanya matematis. Oleh karena itu, ia juga melihat pentingnya konteks kolonialisme, perdagangan internasional, dan kebijakan negara dalam membentuk jalur pertumbuhan suatu bangsa.
Salah satu kontribusi terpenting W. Arthur Lewis adalah konsep dualisme ekonomi yang membagi perekonomian menjadi dua sektor utama: sektor tradisional yang padat karya dan produktivitas rendah, serta sektor modern yang lebih produktif dan kapitalistik. Di Indonesia, gambaran ini sangat nyata terlihat dalam perbedaan mencolok antara ekonomi agraris di pedesaan dan ekonomi industri atau jasa di perkotaan.
Sektor pertanian yang masih mendominasi banyak wilayah Indonesia sering kali menghadapi keterbatasan modal, teknologi, dan akses pasar, sehingga produktivitasnya stagnan. Sebaliknya, sektor modern termasuk manufaktur, teknologi, dan jasa menunjukkan pertumbuhan yang lebih dinamis dan berpotensi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Namun, tantangan utama adalah bagaimana memindahkan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern tanpa menciptakan ketidakstabilan sosial dan ekonomi. Kondisi ini memperlihatkan ketimpangan struktur ekonomi Indonesia yang berakar kuat, dimana sektor informal dan semi-formal tetap mendominasi sebagian besar pasar tenaga kerja.
Kesenjangan ini juga diperparah oleh disparitas geografis, dengan pusat-pusat ekonomi seperti Jakarta dan Surabaya berkembang pesat, sementara daerah-daerah lain masih tertinggal. Oleh karena itu, penerapan teori Lewis dalam konteks Indonesia menuntut kebijakan yang tidak hanya mendorong industrialisasi, tetapi juga memastikan inklusivitas dan pemerataan manfaat pertumbuhan.
Studi kasus sederhana dapat dilihat pada perkembangan industri manufaktur di pulau Jawa dibandingkan dengan daerah-daerah luar Jawa yang masih sangat bergantung pada pertanian subsisten dan usaha mikro. Inilah realitas ekonomi dualistik yang memerlukan solusi inovatif agar Indonesia dapat memanfaatkan bonus demografi dan transformasi ekonomi secara optimal.
Meskipun teori W. Arthur Lewis tentang pertumbuhan ekonomi menawarkan kerangka yang kuat, penerapannya di Indonesia tidaklah tanpa tantangan. Salah satu hambatan utama adalah struktur institusional dan politik ekonomi Indonesia yang kerap tidak stabil dan kurang konsisten dalam perencanaan jangka panjang.
Lewis menekankan pentingnya akumulasi modal dan reinvestasi surplus dari sektor modern untuk mendorong pertumbuhan. Namun, dalam praktiknya, Indonesia sering kali mengalami kebocoran dalam sistem fiskal dan ketergantungan pada komoditas mentah yang nilainya fluktuatif. Ketika harga ekspor komoditas naik, surplus ekonomi tidak selalu diinvestasikan kembali secara produktif, melainkan digunakan untuk konsumsi atau proyek-proyek yang tidak berkelanjutan.
Selain itu, pendidikan dan keterampilan tenaga kerja masih menjadi kendala besar. Teori Lewis berasumsi bahwa perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern dapat meningkatkan produktivitas. Namun di Indonesia, kurangnya keterampilan dan mismatch antara pendidikan dan kebutuhan industri sering kali membuat transisi ini tidak berjalan lancar. Hal ini menciptakan fenomena “modern sector unemployment”, di mana pekerja sudah berpindah, tetapi tidak mampu terserap secara optimal.
Namun, di balik tantangan tersebut, terdapat peluang besar. Bonus demografi Indonesia yang sedang berlangsung bisa menjadi kekuatan utama pertumbuhan jika dikelola dengan benar sejalan dengan gagasan Lewis tentang surplus tenaga kerja. Investasi pada sektor manufaktur berorientasi ekspor, hilirisasi sumber daya alam, dan pengembangan industri kreatif dapat menjadi motor pertumbuhan baru jika dikombinasikan dengan kebijakan redistributif yang progresif.
Peluang lain adalah penguatan konektivitas antarwilayah, seperti pembangunan infrastruktur yang menyambungkan daerah tertinggal dengan pusat-pusat ekonomi. Ini dapat mempercepat proses integrasi sektor tradisional ke dalam ekonomi nasional yang lebih modern.
Untuk menerapkan pemikiran Lewis secara efektif, Indonesia perlu mengembangkan strategi pertumbuhan inklusif—yakni model pembangunan yang tidak hanya menekankan pada laju pertumbuhan, tetapi juga pada pemerataan hasil dan pemberdayaan tenaga kerja. Hal ini melibatkan beberapa kebijakan utama:
-
Reformasi sektor pendidikan dan pelatihan vokasional agar tenaga kerja dapat bersaing dan beradaptasi dengan sektor-sektor modern yang terus berkembang.
-
Transformasi sektor pertanian melalui mekanisasi, akses modal, dan koperasi, agar tidak tertinggal dalam proses modernisasi.
-
Pengembangan UMKM dan industri kreatif sebagai jembatan antara sektor tradisional dan modern.
-
Kebijakan fiskal progresif dan tata kelola investasi yang transparan, agar surplus dari sektor produktif tidak hanya dinikmati oleh segelintir elit.
Pemerintah juga harus berani meninggalkan pendekatan jangka pendek yang berorientasi pada pertumbuhan semu, dan beralih pada pembangunan berbasis nilai tambah, inovasi, dan keberlanjutan. Seiring dengan itu, peningkatan institusi, penguatan sistem peradilan, dan pemberantasan korupsi adalah prasyarat agar investasi berjalan sehat dan surplus ekonomi bisa dialihkan untuk pembangunan jangka panjang.
Penutup
Pemikiran W. Arthur Lewis dalam The Theory of Economic Growth menawarkan kerangka klasik namun masih sangat relevan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Konsep dualisme ekonomi, akumulasi modal, serta perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional ke modern, menjadi kunci untuk memahami tantangan pembangunan kita hari ini.
Namun, sebagaimana Lewis sendiri sering tekankan, teori hanyalah alat bantu. Yang menentukan adalah bagaimana setiap bangsa mampu membaca konteksnya sendiri, membangun institusi yang tangguh, dan mengambil keputusan politik yang berpihak pada keadilan sosial dan pertumbuhan jangka panjang.
Indonesia memiliki peluang besar untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah dan menjadi kekuatan ekonomi global. Tapi hal itu hanya bisa tercapai jika kita berani keluar dari kebiasaan lama, dan membangun jalan baru yang inklusif, produktif, dan berorientasi jangka panjang sebuah visi yang sejalan dengan semangat dasar teori pertumbuhan Lewis.
Comments
Post a Comment