Kemacetan dan Transportasi Umum: Pelajaran dari Khartoum untuk Ekonomi Perkotaan Indonesia
Masalah transportasi publik bukan hanya urusan teknis atau sekadar soal infrastruktur, tetapi juga mencerminkan dinamika sosial dan ekonomi suatu kota. Dalam tulisannya tahun 1985, Bodour Osman Abu Affan mengangkat persoalan serius mengenai sistem lalu lintas dan angkutan umum di Khartoum, ibu kota Sudan, yang saat itu tengah menghadapi urbanisasi pesat tanpa dukungan sistem transportasi memadai. Meski ditulis hampir 40 tahun lalu, analisis ini tetap relevan terutama bagi Indonesia, yang kini tengah mencari solusi untuk kemacetan kronis di kota-kota besar serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Apa yang bisa kita pelajari dari Khartoum, dan bagaimana itu bisa membentuk arah kebijakan transportasi kita ke depan?
Pada tahun 1985, Bodour Osman Abu Affan menyoroti sejumlah persoalan utama dalam sistem transportasi metropolitan Khartoum yang sangat relevan untuk kota-kota berkembang lainnya. Ia mencatat bahwa urbanisasi yang cepat dan pertumbuhan jumlah kendaraan pribadi tidak diimbangi oleh peningkatan infrastruktur dan sistem transportasi umum. Hasilnya adalah: kemacetan parah, waktu tempuh yang panjang, dan tekanan sosial-ekonomi yang merata pada seluruh lapisan masyarakat terutama kelas pekerja yang sangat bergantung pada angkutan umum informal.
Kondisi ini sangat mirip dengan apa yang terjadi di Jakarta hari ini. Sebagai kota megapolitan yang menjadi pusat ekonomi Indonesia, Jakarta menghadapi tantangan kronis berupa kemacetan lalu lintas, keterbatasan angkutan umum, dan perencanaan kota yang tidak selalu mengikuti prinsip pembangunan berkelanjutan. Urbanisasi yang tak terkendali telah menyebabkan ledakan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat yang berdampak langsung pada produktivitas ekonomi. Berdasarkan data Bappenas, kemacetan di Jakarta menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari Rp 100 triliun per tahun akibat waktu dan energi yang terbuang.
Sama seperti Khartoum yang pada masanya mengandalkan transportasi informal seperti minibus dan taksi kolektif, Jakarta hingga kini masih bergantung pada moda seperti angkot, ojek pangkalan, dan kini ojek daring. Meski keberadaan MRT, LRT, dan Transjakarta memberi angin segar, integrasi antar moda dan jangkauan wilayah masih belum merata. Ini memperlihatkan bahwa, seperti halnya Khartoum, Jakarta juga memerlukan perencanaan transportasi yang lebih strategis dan inklusif, yang tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur fisik, tapi juga sistem yang memudahkan mobilitas kelompok berpendapatan rendah.
Transportasi yang buruk bukan hanya masalah kenyamanan, tapi juga masalah ekonomi. Studi Abu Affan mengingatkan kita bahwa tanpa akses mobilitas yang efisien dan terjangkau, masyarakat sulit memperoleh akses kerja, pendidikan, dan layanan kesehatan. Ketimpangan mobilitas ini berdampak langsung pada ketimpangan sosial-ekonomi.
Studi Bodour Osman Abu Affan tidak hanya mengulas masalah, tetapi juga menyarankan solusi-solusi strategis yang, jika ditinjau kembali, tetap relevan bagi kota-kota seperti Jakarta. Salah satu gagasan utamanya adalah pentingnya penguatan perencanaan transportasi berbasis kebutuhan masyarakat. Di Khartoum, kegagalan transportasi publik bukan semata akibat kurangnya infrastruktur, tetapi juga karena tidak adanya pemetaan menyeluruh terhadap mobilitas warga, sebuah pelajaran penting untuk Jakarta.
Pertama, Abu Affan menganjurkan integrasi transportasi informal ke dalam sistem formal. Di Khartoum, banyak warga bergantung pada minibus dan taksi kolektif yang tidak memiliki rute pasti dan tidak diawasi pemerintah. Jakarta mengalami hal serupa dengan keberadaan ojek, bajaj, dan angkot yang tidak selalu terkoordinasi dengan sistem TransJakarta atau MRT. Solusi yang bisa diterapkan Jakarta adalah regulasi dan digitalisasi transportasi informal, seperti menyediakan aplikasi rute angkot atau program insentif untuk mitra ojek daring yang menghubungkan mereka dengan halte-halte transportasi massal.
Kedua, Abu Affan menekankan perlunya kebijakan transportasi yang pro-keadilan sosial. Aksesibilitas transportasi harus diprioritaskan untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang paling terdampak oleh kemacetan dan biaya mobilitas tinggi. Untuk Jakarta, ini berarti perluasan jaringan transportasi massal ke wilayah penyangga seperti Bekasi, Depok, dan Tangerang, serta pemberian subsidi atau tarif terintegrasi yang meringankan biaya perjalanan harian.
Ketiga, ia menyoroti perlunya partisipasi masyarakat dalam perencanaan transportasi. Kota tidak bisa hanya dibangun dari atas ke bawah. Jakarta perlu melibatkan komunitas lokal, LSM, dan warga dalam pengambilan keputusan transportasi misalnya dalam menyusun jalur sepeda, mengatur trayek baru, atau menentukan lokasi halte. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efektivitas kebijakan, tetapi juga memperkuat rasa memiliki terhadap sistem transportasi kota.
Terakhir, solusi jangka panjang dari Abu Affan mencakup investasi pada pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam bidang transportasi. Jakarta membutuhkan lebih banyak ahli transportasi perkotaan, perencana mobilitas, dan analis kebijakan publik yang paham konteks lokal. Ini berarti kolaborasi antara pemerintah daerah, universitas, dan sektor swasta perlu ditingkatkan agar solusi transportasi tidak sekadar impor dari negara maju, tetapi adaptif terhadap kebutuhan Jakarta.
Dengan memahami solusi dari Khartoum dan menerapkannya secara kontekstual, Jakarta memiliki peluang besar untuk membangun sistem transportasi publik yang tidak hanya efisien, tetapi juga adil dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Studi Bodour Osman Abu Affan menjadi peringatan awal bahwa sistem transportasi publik yang buruk bukan hanya menyebabkan kemacetan, tetapi juga membatasi pertumbuhan ekonomi dan memperdalam ketimpangan sosial. Indonesia, terutama Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi, dapat menarik beberapa pelajaran penting dari studi Khartoum untuk memperkuat kebijakan transportasi dan perencanaan kota yang berkelanjutan.
Transportasi harus dilihat sebagai infrastruktur strategis yang setara dengan listrik, air bersih, dan jaringan digital. Akses mobilitas yang lancar dan merata meningkatkan produktivitas tenaga kerja, mempercepat distribusi barang, dan membuka akses pendidikan dan kesehatan. Pemerintah Indonesia perlu mengintegrasikan pembangunan transportasi dalam rencana ekonomi jangka panjang, bukan sekadar sebagai proyek infrastruktur fisik.
Salah satu kesalahan utama yang terlihat baik di Khartoum maupun Jakarta adalah fokus berlebihan pada kendaraan pribadi. Pembelajaran dari Abu Affan mengingatkan kita bahwa fokus pada “orang” dan bukan “mobil” adalah kunci. Rekomendasinya untuk Indonesia adalah membatasi penggunaan kendaraan pribadi di pusat kota dengan kebijakan seperti ERP (Electronic Road Pricing), memperluas zona bebas kendaraan, dan menyediakan insentif nyata bagi pengguna transportasi umum.
Transportasi publik tidak akan efektif jika tidak terintegrasi secara spasial, tarif, dan informasi. Jakarta dapat mencontoh konsep dari Abu Affan dengan mengintegrasikan ojek online, angkot, MRT, TransJakarta, dan LRT dalam satu sistem digital yang memungkinkan pengguna memesan, membayar, dan berpindah moda dengan mudah. Hal ini juga membuka ruang kolaborasi antara pemerintah dan startup teknologi transportasi lokal.
Seperti yang ditekankan Abu Affan, partisipasi publik dalam perencanaan sangat penting. Jakarta memiliki tantangan sosial yang kompleks: dari pemukiman padat hingga kawasan elite, dari pekerja informal hingga ekspatriat. Perencanaan sistem transportasi harus mempertimbangkan kebutuhan semua kelompok ini dengan data lokal, dialog warga, dan perencanaan mikroberbasis kecamatan/kelurahan.
Indonesia masih kekurangan tenaga ahli di bidang perencanaan transportasi berbasis manusia (human-centered urban mobility). Pelajaran dari Khartoum menunjukkan pentingnya membangun ekosistem pendidikan dan riset transportasi di dalam negeri. Pemerintah dapat memberikan beasiswa, memperkuat kerja sama universitas dan lembaga riset, dan mendukung pilot project oleh mahasiswa, komunitas, dan startup sosial.
Transportasi publik bukan hanya tentang mengangkut orang dari satu titik ke titik lain. Ia adalah jantung yang memompa kehidupan ekonomi, sosial, dan ekologis sebuah kota. Bodour Osman Abu Affan, melalui telaahnya atas Khartoum pada tahun 1985, telah memberikan gambaran tentang bagaimana ketidaksiapan dalam mengelola urbanisasi dan mobilitas dapat menghambat kemajuan kota bukan hanya secara fisik, tapi juga secara struktural dan psikologis.
Jakarta, dengan segala dinamika dan potensinya, memiliki kesempatan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Tapi untuk itu, pendekatan pembangunan harus berubah: dari pembangunan berbasis beton ke pembangunan berbasis kebutuhan manusia; dari proyek megah ke sistem yang fungsional dan adil; dari kebijakan elitis ke proses perencanaan yang partisipatif dan inklusif.
Investasi dalam transportasi publik yang efisien, terintegrasi, dan terjangkau bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Jika Jakarta ingin menjadi kota yang layak huni, kompetitif secara global, dan adil bagi semua warganya, maka inilah saatnya untuk menjadikan mobilitas sebagai prioritas pembangunan jangka panjang.
Apa yang ditulis oleh Abu Affan mungkin berasal dari konteks Afrika Timur pada 1980-an. Namun, kekuatan tulisan itu justru terletak pada kemampuannya menembus waktu dan batas geografis menjadi cermin dan peringatan bagi kota-kota seperti Jakarta hari ini.
Comments
Post a Comment