Dari Padang Pasir ke Pusat Energi: Pelajaran Ekonomi Abu Dhabi untuk Indonesia Masa Kini
Pada tahun 1971, seorang penyair sekaligus ekonom bernama Mana Saeed Al-Otaiba menerbitkan buku The Economy of Abu Dhabi, Ancient and Modern, sebuah karya penting yang mendokumentasikan transformasi luar biasa dari wilayah gurun tandus menjadi salah satu pusat energi dunia. Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tantangan pembangunan yang masih dihadapi Indonesia saat ini, kisah Abu Dhabi menjadi cermin sekaligus inspirasi. Bagaimana sebuah negara kecil dengan sumber daya terbatas mampu merancang masa depan ekonominya dengan visi yang berani? Dan apa yang bisa dipetik Indonesia, negara besar yang kaya sumber daya namun penuh tantangan struktural, dari perjalanan ekonomi Emirat tersebut? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan itu melalui perbandingan reflektif antara Abu Dhabi 1970-an dan Indonesia masa kini.
Sebelum ditemukannya cadangan minyak yang melimpah, ekonomi Abu Dhabi seperti wilayah Teluk Arab lainnya bertumpu pada aktivitas tradisional yang sangat bergantung pada kondisi alam dan musim. Mata pencaharian utama rakyatnya adalah menyelam mutiara, perikanan, dan perdagangan skala kecil dengan wilayah sekitarnya seperti Persia, India, dan Afrika Timur. Kehidupan berlangsung keras dan penuh ketidakpastian, karena produksi ekonomi sangat rentan terhadap cuaca, fluktuasi pasar, dan gangguan politik regional.
Namun titik balik besar terjadi pada pertengahan abad ke-20 ketika ditemukan ladang minyak di kawasan tersebut. Sejak itulah wajah ekonomi Abu Dhabi berubah drastis. Seperti yang dijelaskan oleh Al-Otaiba, pendapatan dari minyak mulai mengalir deras ke kas negara, memungkinkan pemerintah untuk mulai membangun infrastruktur, sistem pendidikan, layanan kesehatan, dan proyek-proyek modernisasi lainnya yang sebelumnya tidak terbayangkan.
Minyak bukan hanya membawa kekayaan, tetapi juga menghadirkan tantangan baru: bagaimana mengelola kekayaan itu secara strategis? Abu Dhabi, melalui visi para pemimpinnya termasuk Sheikh Zayed, memutuskan untuk menjadikan minyak sebagai modal pembangunan jangka panjang bukan hanya sumber konsumsi sesaat. Maka dimulailah transformasi ekonomi yang bukan hanya bersifat fisik (jalan, pelabuhan, sekolah), tetapi juga kelembagaan, dengan pembentukan lembaga keuangan, kementerian, dan regulasi ekonomi yang lebih terstruktur.
Al-Otaiba menekankan bahwa titik krusial dalam keberhasilan Abu Dhabi bukan hanya penemuan minyak itu sendiri, melainkan cara pemerintah memanfaatkan momentum tersebut secara terencana. Ini berbeda dengan banyak negara kaya sumber daya lainnya yang terjebak dalam "kutukan sumber daya" (resource curse). Abu Dhabi memilih untuk menyusun anggaran berbasis rencana lima tahunan, membangun cadangan devisa, dan menempatkan kepercayaan pada sektor swasta domestik dalam rangka diversifikasi ekonomi jangka panjang.
Dalam bukunya The Economy of Abu Dhabi, Ancient and Modern, Mana Saeed Al-Otaiba tidak hanya mencatat transisi ekonomi yang terjadi secara faktual, tetapi juga menyoroti dengan tajam strategi di balik perubahan tersebut. Menurut Al-Otaiba, keberhasilan ekonomi Abu Dhabi tidak bisa dilepaskan dari kombinasi antara visi politik yang kuat, tata kelola keuangan yang terpusat, dan investasi jangka panjang yang strategis.
Salah satu langkah awal yang paling menonjol adalah investasi besar-besaran dalam infrastruktur dasar: jalan raya, pelabuhan, listrik, air bersih, dan perumahan rakyat. Pemerintah memahami bahwa tanpa fondasi fisik yang memadai, pembangunan ekonomi hanya akan bersifat tambal sulam. Namun tak hanya itu, sektor pendidikan juga menjadi prioritas utama. Al-Otaiba menekankan bahwa pendidikan adalah kunci untuk memutus ketergantungan pada tenaga kerja asing dan menciptakan generasi baru Emirati yang siap mengelola negaranya sendiri.
Meski ladang minyak menghasilkan pendapatan besar, para pemimpin Abu Dhabi sadar bahwa sumber daya alam tidak akan bertahan selamanya. Oleh karena itu, diversifikasi ekonomi menjadi agenda penting sejak awal. Pemerintah mulai menanamkan modal ke sektor-sektor lain seperti konstruksi, jasa keuangan, perdagangan, dan pariwisata. Al-Otaiba mencatat bahwa sektor publik menjadi katalis utama, tetapi peran sektor swasta juga didorong melalui insentif fiskal, kemudahan berusaha, dan kepastian hukum.
Salah satu keunikan Abu Dhabi dibandingkan dengan negara berkembang lainnya adalah cara mereka mengelola kekayaan negara secara terpusat. Melalui lembaga-lembaga semacam Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) dan Dewan Tertinggi Minyak, pemerintah mampu menghindari fragmentasi kebijakan dan memastikan bahwa pembangunan ekonomi berjalan dalam satu arah yang konsisten. Al-Otaiba menilai bahwa konsolidasi kekuasaan ekonomi ini bukan berarti otoritarianisme semata, tetapi bentuk efisiensi dalam pengambilan keputusan di tengah lonjakan perubahan.
Al-Otaiba juga menyoroti bagaimana Abu Dhabi tidak meninggalkan akar budayanya dalam proses modernisasi. Ini penting untuk membangun legitimasi pemerintah dan menghindari alienasi sosial di tengah percepatan pembangunan. Strategi ini membantu mempertahankan kohesi sosial meski terjadi perubahan ekonomi yang sangat cepat.
Jika Abu Dhabi di era 1970-an sedang membangun dari nol dengan kekayaan minyak sebagai bahan bakarnya, maka Indonesia di era 2020-an menghadapi teka-teki yang lebih kompleks: bagaimana mendorong pertumbuhan inklusif dalam negara besar yang kaya sumber daya, beragam budaya, dan penuh dinamika politik? Dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta, posisi strategis di jalur perdagangan Asia, serta kekayaan alam yang melimpah, Indonesia memiliki semua elemen dasar untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia. Namun, potensi itu seringkali terhambat oleh tantangan struktural yang belum kunjung teratasi.
Meskipun ekonomi Indonesia telah tumbuh stabil dalam dua dekade terakhir, struktur ekspornya masih sangat bergantung pada komoditas primer seperti batu bara, minyak sawit, nikel, dan karet. Ketergantungan ini membuat Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga global. Ketika harga komoditas naik, perekonomian tampak kuat. Namun ketika harga turun, banyak sektor ikut terdampak. Ini mencerminkan bahwa Indonesia belum berhasil mendiversifikasi basis industrinya secara signifikan, sebagaimana dilakukan Abu Dhabi pasca booming minyak.
Salah satu hambatan utama pembangunan Indonesia adalah ketimpangan infrastruktur antar wilayah. Jawa masih menjadi pusat ekonomi, sementara daerah luar Jawa sering tertinggal dalam hal akses jalan, pelabuhan, logistik, dan konektivitas digital. Ini tidak hanya memperlambat pemerataan ekonomi, tetapi juga memperbesar ketimpangan sosial dan mendorong urbanisasi yang tidak sehat. Pemerintah telah meluncurkan proyek-proyek besar seperti Tol Laut, IKN (ibu kota baru), dan pengembangan KEK (Kawasan Ekonomi Khusus), namun implementasi dan dampaknya belum merata.
Salah satu keunggulan Indonesia saat ini adalah komposisi penduduknya yang didominasi oleh usia produktif. Bonus demografi ini bisa menjadi kekuatan besar seperti yang dialami Korea Selatan dan Tiongkok, jika diiringi dengan kualitas pendidikan, pelatihan vokasi, dan penciptaan lapangan kerja bernilai tambah. Namun kenyataannya, kualitas pendidikan dasar hingga menengah masih rendah, ketimpangan akses pendidikan tinggi masih lebar, dan banyak lulusan perguruan tinggi tidak terserap di pasar kerja formal.
Tantangan lain yang signifikan adalah lemahnya institusi ekonomi dari birokrasi yang lamban hingga korupsi di berbagai level pemerintahan. Ini membuat proses perizinan panjang, insentif investasi tidak tepat sasaran, dan pelaksanaan kebijakan sering tidak konsisten. Bandingkan dengan Abu Dhabi yang sejak awal sentral dan tegas dalam mengelola sumber dayanya, Indonesia sering terlihat gamang, terpecah oleh kepentingan sektoral dan politik jangka pendek.
Di era perubahan iklim global, Indonesia dihadapkan pada kebutuhan mendesak untuk beralih dari energi fosil ke energi bersih. Sebagai salah satu penghasil batubara terbesar dunia, transisi ini tidak mudah. Namun peluangnya besar: Indonesia punya potensi energi surya, angin, dan panas bumi yang luar biasa. Jika dikelola dengan visi seperti Abu Dhabi mengelola minyaknya, Indonesia bisa memimpin di sektor energi terbarukan Asia Tenggara.
Melihat kisah sukses Abu Dhabi sebagaimana dipaparkan oleh Mana Saeed Al-Otaiba dalam The Economy of Abu Dhabi, Ancient and Modern, tampak bahwa kunci dari transformasi ekonomi bukan hanya kekayaan sumber daya, tetapi bagaimana kekayaan itu dikelola. Indonesia, yang juga dianugerahi kekayaan alam dan bonus demografi, berada di titik kritis: apakah akan mengulangi siklus stagnasi negara berkembang, atau berani membangun dengan visi jangka panjang seperti Abu Dhabi?
Abu Dhabi sejak awal menata ekonominya berdasarkan perencanaan jangka panjang, termasuk diversifikasi ekonomi dan pembangunan institusi. Indonesia, sebaliknya, kerap terjebak pada kebijakan jangka pendek, apalagi menjelang pemilu. Al-Otaiba menyoroti pentingnya continuity dalam pembangunan. Ini bisa dicapai jika ada konsensus nasional yang kuat soal arah pembangunan, bukan sekadar agenda pemerintah yang berganti-ganti.
Model Abu Dhabi menekankan sentralisasi pengambilan keputusan dalam bidang strategis, terutama soal energi dan keuangan. Meski Indonesia menganut desentralisasi daerah, kenyataannya kebijakan pembangunan sering tidak sinkron antar level pemerintahan. Akibatnya, proyek strategis nasional bisa terhambat oleh konflik kepentingan lokal. Bukan berarti Indonesia harus kembali ke sistem sentralistik, tetapi harus ada koordinasi dan integrasi yang lebih kuat agar tidak kehilangan arah.
Abu Dhabi menggunakan hasil minyaknya untuk membiayai infrastruktur dan investasi global melalui sovereign wealth fund, seperti ADIA. Indonesia juga punya sovereign wealth fund (LPI atau INA), tetapi penggunaannya masih terbatas dan belum sepenuhnya menjadi katalis ekonomi strategis. Sementara itu, anggaran negara masih sangat bergantung pada pajak konsumsi dan utang, belum optimal dalam mendorong investasi jangka panjang yang produktif.
Salah satu penekanan Al-Otaiba adalah pada penciptaan generasi Emirati yang terdidik agar tidak terus bergantung pada tenaga kerja asing. Indonesia menghadapi tantangan serupa, tetapi dalam konteks berbeda: tenaga kerja murah Indonesia melimpah, tetapi sering tidak terserap karena kurangnya keahlian dan relevansi kurikulum pendidikan. Reformasi pendidikan dan pelatihan vokasi harus menjadi prioritas untuk menghadapi persaingan global.
Abu Dhabi menunjukkan bahwa modernisasi ekonomi tidak harus meninggalkan nilai-nilai lokal. Identitas budaya tetap dijaga, bahkan dijadikan bagian dari citra nasional. Indonesia bisa belajar dari sini bahwa pembangunan tidak selalu berarti “meniru Barat”, melainkan bisa tumbuh dari kekuatan lokal: budaya, solidaritas sosial, dan sumber daya manusia yang berkarakter.
Melalui perbandingan antara The Economy of Abu Dhabi karya Mana Saeed Al-Otaiba dan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, kita mendapatkan satu benang merah yang sangat penting: sumber daya yang besar tidak akan otomatis menghasilkan kesejahteraan tanpa tata kelola yang bijak, strategi jangka panjang, dan keberanian politik untuk berubah.
Abu Dhabi, yang dulunya hanyalah wilayah gersang di Teluk Persia, berani memanfaatkan momentum ekonomi yang muncul dari minyak untuk membangun fondasi negara modern. Indonesia, yang memiliki kekayaan alam jauh lebih beragam dan populasi yang jauh lebih besar, masih terus bergulat dengan ketimpangan, birokrasi yang lambat, dan kebijakan yang terfragmentasi. Namun, bukan berarti semuanya suram. Indonesia saat ini tengah berdiri di persimpangan penting: antara menjadi negara berpendapatan tinggi atau tetap terjebak dalam “middle-income trap”.
Buku Al-Otaiba memberi pelajaran bahwa yang diperlukan bukan hanya keberuntungan sejarah, tetapi juga ketegasan visi, kepemimpinan strategis, dan kesungguhan membangun kapasitas nasional—terutama dalam pendidikan, infrastruktur, dan institusi ekonomi. Dalam konteks Indonesia, semua elemen ini sedang diuji.
Akhirnya, tulisan ini bukan untuk memuja Abu Dhabi atau merendahkan Indonesia, melainkan untuk mengingatkan bahwa di dunia yang penuh ketidakpastian ini, negara-negara yang berhasil bukanlah yang terkaya, tetapi yang paling mampu mengelola potensi dan merancang masa depan dengan disiplin dan kesabaran
Comments
Post a Comment