Mewarisi Keanekaragaman: Pelajaran ‘Dominican Cultures’ untuk Ekonomi Indonesia Masa Kini

Di tengah gelombang globalisasi dan transformasi ekonomi yang cepat, Indonesia membutuhkan cermin dari negara-negara berkembang lain untuk melihat bagaimana kekayaan budaya dan sejarah bisa menjadi fondasi pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu cermin menarik datang dari Karibia, tepatnya Republik Dominika, melalui buku Dominican Cultures: The Making of a Caribbean Society yang disunting oleh Bernardo Vega. Buku ini mengisahkan perjalanan panjang masyarakat Dominika dalam membentuk identitas dan sistem ekonominya yang berakar pada warisan budaya lokal, pertanian mandiri, serta adaptasi terhadap perubahan global. Lalu, bagaimana pelajaran dari negara kecil di Karibia ini bisa relevan untuk Indonesia yang sama-sama kaya akan budaya dan tengah menghadapi tantangan modernisasi ekonomi? Artikel ini mencoba menjawabnya.

Buku Dominican Cultures: The Making of a Caribbean Society, disunting oleh Bernardo Vega, merupakan kumpulan esai yang menjelajahi asal-usul masyarakat Republik Dominika dari sudut pandang sejarah, budaya, dan ekonomi. Dengan pendekatan interdisipliner, para penulis buku ini membongkar bagaimana warisan multikultural dari penduduk asli hingga para imigran modern telah membentuk lanskap sosial dan ekonomi Dominika hari ini.

Masyarakat Dominika merupakan hasil dari pertemuan tiga dunia: suku asli Taino yang pertama mendiami pulau Hispaniola, penjajah Spanyol yang membawa sistem kolonial, dan budak Afrika yang didatangkan untuk bekerja di ladang-ladang tebu. Dalam perkembangannya, migran Tionghoa, Lebanon, dan Haiti turut memperkaya campuran etnis dan budaya. Ini menciptakan identitas Dominika yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan satu asal-usul, melainkan sebagai hasil dari "kreolisasi" penggabungan unsur budaya yang menghasilkan tatanan baru.

Esai dalam buku ini menyoroti pentingnya sistem pertanian lokal, yaitu hato (ladang peternakan besar) dan conuco (kebun kecil subsisten), dalam membentuk tatanan sosial. Para petani kulit hitam bebas menjadi fondasi ekonomi non-kolonial yang lebih mandiri dan egaliter. Di sinilah terlihat peran budaya kerja dan kemandirian ekonomi yang lahir dari bawah, bukan dari elit kolonial.

Republik Dominika tak lepas dari tekanan global. Selain masa penjajahan Spanyol dan Prancis, negara ini mengalami pendudukan militer AS pada awal abad ke-20. Intervensi ini memperkenalkan sistem baru seperti kapitalisme pertanian skala besar (terutama gula) dan membuka pintu terhadap dominasi modal asing, seraya mengikis kemandirian lokal.

Pasca Perang Dunia II, Dominika memasuki fase baru: pembangunan infrastruktur, pertumbuhan kota, pariwisata, dan ekspor tenaga kerja. Ekonomi pun bergeser dari pertanian ke jasa dan pariwisata. Namun, di balik modernisasi ini muncul pertanyaan tentang identitas, ketimpangan sosial, dan keberlanjutan budaya.

Buku ini menekankan bahwa budaya bukan sekadar warisan pasif, melainkan sumber kekuatan dalam menghadapi krisis sosial dan ekonomi. Musik, kuliner, kepercayaan lokal, dan bahasa menjadi alat perlawanan terhadap homogenisasi global. Identitas Dominika dibentuk dalam negosiasi terus-menerus antara lokal dan asing.

Meskipun berjarak ribuan kilometer dan berbeda dalam skala geografis maupun populasi, Republik Dominika dan Indonesia memiliki banyak kesamaan fundamental: sama-sama negara bekas jajahan, kaya budaya, multi-etnis, dan sedang berjuang mencari pijakan ekonomi di era globalisasi. Apa yang bisa dipelajari Indonesia dari kisah dalam buku Dominican Cultures? Berikut beberapa poin relevannya:

Dominika, seperti Indonesia, merupakan produk percampuran budaya yang kompleks. Namun, alih-alih mengabaikannya, Dominika merayakan keberagaman ini melalui musik merengue, tarian, arsitektur, dan kuliner yang kini menjadi daya tarik pariwisata. Di Indonesia, budaya lokal kerap tersingkir oleh narasi pembangunan modern yang seragam. Padahal, budaya seperti batik, tenun, kuliner daerah, dan ritual adat punya nilai jual tinggi jika dikelola sebagai bagian dari ekonomi kreatif. Relevansi buku Vega terletak pada dorongan untuk menjadikan budaya sebagai pusat strategi ekonomi, bukan sebagai tempelan.

Sistem conuco dalam masyarakat Dominika kebun kecil mandiri yang dikelola oleh petani bebas menggambarkan model ketahanan pangan berbasis komunitas. Ini kontras dengan sistem pertanian skala besar yang bergantung pada ekspor dan korporasi asing. Indonesia, dengan krisis pangan yang membayangi dan tingginya ketergantungan pada impor, bisa menarik pelajaran untuk merevitalisasi pertanian lokal, memberi insentif bagi petani kecil, dan menumbuhkan rasa bangga terhadap produk dalam negeri bukan hanya untuk ekspor tapi untuk konsumsi rakyat sendiri.

Dominika mengalami modernisasi melalui pariwisata dan industrialisasi ringan, namun buku ini menunjukkan bahwa ketimpangan tetap menganga, terutama antara daerah dan kota, atau antara warga asli dan elit. Hal yang sama terjadi di Indonesia: pembangunan infrastruktur dan digitalisasi seringkali belum menyentuh komunitas adat, nelayan, dan petani. Pesan penting dari buku ini adalah perlunya pembangunan yang berpihak pada komunitas rentan, bukan sekadar pertumbuhan angka-angka ekonomi.

Dominika menunjukkan bagaimana budaya bisa dikapitalisasi dalam sektor jasa seperti pariwisata dan hiburan. Indonesia sebenarnya punya potensi serupa dari Bali hingga Toraja, dari Keraton Yogyakarta hingga Festival Danau Toba. Tapi banyak daerah belum maksimal memanfaatkan budaya sebagai kekuatan ekonomi berkelanjutan. Pelajaran dari Dominika: jangan hanya menjual "eksotisme", tetapi tampilkan budaya secara otentik dengan melibatkan komunitas lokal sebagai aktor utama.

Buku Dominican Cultures: The Making of a Caribbean Society bukan hanya sekadar narasi antropologis tentang satu negara kecil di Karibia. Ia adalah refleksi global tentang bagaimana negara-negara bekas jajahan, dengan segala kompleksitas identitas dan sejarahnya, bisa bangkit melalui akar budayanya sendiri. Di tengah tantangan ekonomi dan sosial yang semakin kompleks, kisah Republik Dominika memberikan pelajaran penting bagi Indonesia: bahwa pembangunan sejati tidak bisa dilepaskan dari penguatan budaya lokal, ekonomi kerakyatan, dan pembangunan yang inklusif.

Indonesia sering terjebak dalam narasi modernisasi yang mengabaikan keunikan daerah. Pendekatan yang terlalu makro, seringkali melupakan akar mikro: kebun petani di Flores, ritual adat di Mentawai, atau warung kecil di pasar tradisional. Padahal justru di sanalah kekuatan ekonomi sejati berada.

Pemerintah daerah dan pusat perlu lebih serius menjadikan budaya sebagai bagian dari strategi pembangunan ekonomi, bukan sekadar sektor pariwisata. Program ketahanan pangan sebaiknya melibatkan petani kecil dan mendorong diversifikasi pangan lokal mirip filosofi conuco di Dominika. Pembangunan harus melibatkan masyarakat adat, perempuan desa, dan anak muda di daerah tertinggal sebagai pelaku, bukan objek. Budaya tidak dijual habis-habisan untuk turis, tetapi dirawat sebagai identitas dan sumber pendapatan berkelanjutan oleh komunitas lokal sendiri.

Penutup:

Jika Dominika, dengan luas yang jauh lebih kecil dan populasi yang terbatas, mampu mengartikulasikan budayanya menjadi kekuatan ekonomi dan sosial, maka Indonesia jauh lebih mungkin asal mau belajar, mendengar, dan merumuskan kebijakan yang berakar pada realitas lokal.

Membangun Indonesia masa depan bukan soal menjadi "maju" seperti negara Barat, tetapi tentang menjadi diri sendiri secara berdaulat, adil, dan berkelanjutan. Buku Dominican Cultures mengingatkan kita, bahwa kekuatan ekonomi sejati bukan di langit-langit gedung tinggi, tapi di akar rumput budaya bangsa.

Comments

Popular posts from this blog

The Role of Schools in Discovering Student Potential: A Comparison of Urban and Rural Attitudes in Indonesia

Urbanization in Indonesia

Membedah Teori W. Arthur Lewis: Pelajaran dari Pertumbuhan Ekonomi 1870–1913 untuk Indonesia Hari Ini